Juli 20, 2009

Detik-Detik Yang Menentukan..Bag.I

19 Oktober 2006, aku menyelesaikan kuliahku dengan hasil yang sangat memuaskan, nilaiku Cumlaude. Apa yang aku usahan selama masa-masa kuliah di jurusan ini ternyata tidak sia-sia aku mendapat nilai terbaik di jurusanku dan kedua terbaik difakultas. Harga yang menurutku pantas untuk didapatkan, sebuah penghargaan akademik yang diberikan universitas ketika aku wisuda. Ucapan selamat aku terima dari teman dan sahabat termasuk dosen-dosenku, sebuah sertifikat dan kitab suci diberikan untuk semua mahasiswa dengan nilai terbaik dijurusannya masing-masing, dari 5 Fakultas yang ada pada waktu itu ada sekitar 25 orang yang mendapat kehormatan untuk naik podium disaksikan oleh ribuan mahasiswa dan orang tuanya. Hanya sedikit rasa bangga dan bahagia yang aku rasakan ketika itu, karena yang membayangi dan menghantui fikiranku kala itu adalah “akan kemana aku setelah mendapatkan gelar dengan ijazah ini”, gundah, resah, pesimis itulah yang aku rasakan ketika berlangsungnya prosesi wisuda.
Setelah selesai wisuda aku memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung dan berusaha untuk mencari pekerjaan. Aku tinggal dengan keluarga temanku yang sudah aku anggap keluargaku sendiriHampir setiap hari aku mendatangi warnet dan kantor pos untuk mengirimkan lamaran. Lebih dari 100 lamaran telah aku kirimkan, lebih dari 30 kali aku dipanggil untuk melakukan berbagai macam tes masuk perusahaan. Namun, ada saja hambatan sehingga aku tidak bisa diterima di perusahaan itu, jelas bukan karena kemampuanku yang tidak ada tapi karena IP(ilmu pendekatan)ku yang tidak terbangun dengan baik. Selama aku mencari pekerjaan aku part time di sebuah LSM yang sebelumnya telah aku ikuti ketika masih aktif kuliah. Ada proyek penelitian anggaran lingkungan hidup di LSM tersebut dan aku di libatkan sebagai salah satu peneliti. Pada waktu itu mereka membayarku 1,5 juta/bulan, nilai yang aku rasa cukup untuk membiayai hidupku selama mencari pekerjaan di Bandung.
Akhir November proyek penelitian itu selesai, itu berarti aku tidak punya pekerjaan lain yang akan menopang kehidupanku selama berada di Bandung. Pada Desember 2007 aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku di Cianjur, aku bermaksud menenangkan diri di antara keluargaku. Namun, itu ternyata bukan terapi yang bagus. Statusku sebagai sarjana pengangguran membuatku berada dalam tekanan. Banyak hal negative yang mulai memasuki fikiranku, hatiku mulai tidak tenang dan aku tidak dapat berfikir dengan baik. Keadaan keluargaku juga tidak mendukung situasi yang aku hadapi saat itu. Dalam keadaaan gamang, atas saran ibuku, aku memasukan lamaran ke sebuah sekolah SMU swasta di kampungku. Tepatnya pada Jum’at minggu ke-2 Desember aku berangakt bersama saudaraku ke sekolah tersebut dengan blazer dan kerudung ungu . Entah ada harapan untuk diterima atau tidak yang jelas ketika aku mendatangi sekolah itu dan menemui kepala sekolahnya aku merasa raga dan jiwaku tidak berada pada satu kesatuan yang utuh. Batinku mengatakan bahwa ini bukan pekerjaan yang kau cari selama ini, dan kamu tidak cocok untuk menjalani pekerjaan ini.
Seminggu kemudian aku dipanggil kembali ke sekolah tersebut, aku ditawari untuk mengajar mata pelajaran Kimia dari kelas X-XII. Pada saat itu juga jiwa dan ragaku masih mengambang, jelas ada keraguan dalam asaku untuk menerima pekerjaan itu. Tapi disisi lain aku tidak kuat untuk menanggung beban moralku sebagai seorang manusia bertoga yang tidak berguna. Aku tidak mampu menerima cibiran dan umpatan tetangga-tetanggaku karena aku belum mandapat pekerjaan. Jelas bukan masalah materi pelajaran yang aku khawatirkan, sejak di SMP aku memiliki ketertarikan yang sangat luar biasa terhadap mata pelajaran eksak. Aku selalu mendapat nilai memuaskan untuk mata pelajaran seperti matematika dan IPA. Ketika di SMU aku beberapa kali mengikuti olimpiade kimia tingkat SMU se-kabupaten. Pengalaman itulah yang membuatku yakin kalau aku mampu memberikan yang terbaik untuk murid-muridku. Selain sifat pantang menyerah yang ku miliki sejak kecil.
Januari 2009 statusku berubah menjadi seorang Guru Kimia SMU, sebuah profesi yang sangat membanggakan untuk keluargaku , terutama ibuku. Jumlah murid disekolah itu kurang lebih 100 orang, aku mulai mengajar kelas 1-3 pada semester II. Aku kembali mempelajari kimia demi murid-muridku, saat itu aku bertekad untuk memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku membeli banyak buku kimia untuk membuatku lebih percaya diri ketika berhadapan dengan murid-muridku. Hari demi hari kau lewati, dalam seminggu aku mengajar selama 3 hari dengan jumlah jam 12. Sisanya ku habiskan untuk belajar dan kembali mengasah kemampuanku, karena selama aku kuliah aku tidak pernah menyantuh apalagi membuka buku yang berkaitan dengan ilmu eksakta. Sangat mudah bagiku untuk menguasai semua kurikulum yang saat itu diberlakukan, dengan cepat aku beradaptasi dengan murid-muridku. Hal yang tidak aku bayangkan sebelumnya ternyata murid-muridku sanagt suka daengan cara mengajarku, mereka sangat antusias ketika aku memasuki kelas mereka. Hanya butuh waktu tiga bula disana aku dipercaya oleh kepala sekolah untuk menjadi walikelas kelas 2 mengantikan seorang temanku yang tidak bisa meneruskan kewajibanya. Tentu saja semuanya tidak berjalan dengan mulus, pada awal-awal aku menjadi guru aku tidak bisa mengendari sepeda motor dengan baik, padahal jarak dari rumahku ke sekolah sekir 15 kilo meter, dan parahnya lagi tidak ada kses angkutan public kea arah sekolahku. Hanya ojeg yang yang tersedia untuk sampai disekolahku, setidaknya ku harus menyiapkan uang sekitar 20 ribu stiap kali aku berangkat ke sekolah hanya untuk biaya tarnsportasi. Padahal aku hanya di bayar 11.000/jam jadi setiap mbulan aku hanya menerima Rp.110.000, kemudia di tambaha beberapa tunjangan yang jelas jumlahnya tidak seberapa , sertiap bulan aku hanya menerima uang tidak sampai Rp.200.000, jumlah yang sangat kecil tentunya. Sangat tidak sebanding dengan apa yang aku lakukan, namun aku berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk meid-muridku. Stiap ajamku mengajar aku tidak pernah telat ataupun pulang sebelum waktu mengajarku selesai. Aku akhirnya dapat mengendarai sepeda motor sendiri setelah 3 bulan mengajar. Selain maslah keuangan yang aku hadapi pada saat itu akupun mendapat kendala dengan daya tangkap murid-muridku yang tidak bagus menurutku. Setiap hari aku harus berfikir ekstra bagaimana caranya agar aku dapat menyampaikan tiap materi agar muridku bisa memahaminya. Aku menjelaskan materi sesederhana mungkin supaya mereka bisa mengakap inti materi tersebut. Tidak hanya sampai disitu sebagian besar muridku berasal dari keluarga tidak mampu, orang tu mereka menjadi TKW di arab. Daoat di bayangkan bagaimana pola asuh dan pola belajar mereka di rumah, karena tidak ada perhatian dari orang tua, mereka jadi pribadi yang bebas dan susah untuk diarahkan. Itulah yang menjadi tantanganku akhirnya, ambisiku adalah merubah pola fikir mereka tentang kehidupan tentang kesuksesan tentang kebahagiaan. Setiap memulai, ketika, dan setelah aku menyampaikan materi aku selalu memberikan cerita-cerita baik itu dari pengalamanku ataupun dari kisah yang pernah aku baca, yang jelas maksudnya aku ingin membuka fikiran mereka supaya punya keberanian untuk bermimpi. Mereka mulai antusias dengan pelajaranku dan tentu saja dengan cerita-cerita yang akan aku sampaikan setiap aku mengajar, kebanyakan mereka menunggu-nunggu giliranku masuk ke kelas mereka. Kepala sekolah memberikan penilaian yang baik untuk cara mengajarku dan dia sangat puas dengan apa yang aku lakukan untuk murid-murid. Namun keadaan itu tidak membuatku serta merta puas dengan profesi ini, aku tetap berusaha dan terus bermimpi untuk keluar dari kampungku dan berkerja dengan frekuensi kerja yang lebih menantang dan tentu saja dengan gaji yang besar. Tidak hanya itu yang membuatku tidak nyaman menjadi seorang guru, ada hal yang menurutku sangat prinsipil yaitu masalah “mental”pendidik yang akhirnya melahirkan “budaya pendidikan” yang “kotor”.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More