Juli 20, 2009

Detik-Detik Yang Menentukan..Bag.II



Pada Awal Mei 2008 aku mandapat panggilan melalui telepon untuk datang ke Jakarta mengikuti interview program “short course Political Ecology” , aku mendaftar program tersebut sekitar bulan oktober 2007. Aku memenuhi panggilan tersebut, mengikuti interview di Gedung Jamsostek lt.20 jalan Gatot Subroto. Aku mendapat giliran ke-2 setelah peserta yang berasal dari Sulawesi selatan. Seorang wanita eropa setengah baya menginterviewku sekitar 30 menit. Aplikasi yang pernah dikirimkan aku presentasikan di depan wanita itu, dengan beberapa pertanyaan terkait program tersebut, nampaknya wanita itu tidak begitu puas dengan jawaban yang aku berikan. Apalagi bahasa inggrisku yang tidak begitu baik mungkinsaja menjadikannya tidak begitu antusias mewanwancaraiku. Aku keluar dari ruangan itu dengan perasaan kecewa dan pesimis karena merasa banyak hal yang harus aku pelajari , banyak hal yang belum aku ketahui, ilmuku masih sangat dangkal. Sepanjang jalan aku menangisi keadaanku, merasa kecewa dengan kemampuan yang aku miliki. Sekitar seminggu kemudian aku mendapat kabar dari salah satu teman yang menjadi calon peserta program tersebut. Dia mengabari bahawa aku lolos interview itu, jelas!aku tidak percaya dengan informasi itu. Pengumuman kelulusannya ada di internet, aku langsung ke warnet dan melihat sendiri hasil tes itu. Aku kaget karena namaku tercantum pada urutan ke-12 dari 19 orang yang lulus mengikuti program tersebut. Akhir Mei 2009 aku berangkat dari bandara soekarno hatta menuju Bandara Schipol di Amsterdam.
Aku mendapat cuti 1 bulan untuk mengikuti program tersebut, namun aku dari awal sudah menyelesaikan kewajibanku untuk menyelesaikan materi pelajarn sampai akhir semester. Aku membuat kesepakatan dengan murid-murid di luar jam sekolah. Semuanya berjalan lancer samapi aku kembali ke Indonesia pada akhir Juni, seminggu sebelum perpisahan siswa kelas III.
Perjuanganku mendapat pekerjaan yang lebih “baik” ternyata tidak selesai pada titik itu, akhirnya di tahu ajaran baru aku mendapat tawaran dari seorang kakak tingkatku semasa kuliah untuk mengajar Bahasa inggris di SMK swasta di tengah kota Cianjur. Kesempatan itu tentu saja tidak aku lewatkan, aku mengikuti prosedur yang ada, mengirim aplikasi dan mengikut wawancara. Pada Juli 2008 yang menandai dimulainya tahun ajaran baru, aku mengajar di dua sekolah dengan mata pelajaran berbeda. Di SMK aku mengajar pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu dengan jumlah jam 24, di 6 kelas, masing tingkat ada dua kelas.. Kemudian sisanya yaitu Senin, rabu dan Jumat aku mengajar di SMU dengan 12 jam pelajaran untuk kelas X-XII. Di kedua sekolah aku mendapat amanah untuk menjadi walikelas di SMK aku menjadi walikelas X MO I, dan di SMU aku menjadi walikelas XI-IPA. Tanggung jawab yang berat menurut fikirku, dengan dua pelajaran yang keduanya akan di UNkan. Terlebih aku harus memberikan pelajaran tambahan untuk kelas XII sebagai persiapana menghadapi Ujian Nasional.
Setiap hari aku pergi mengajar, setengah hari aku berada di sekolah, maksimal jam 3 aku sudah berada di rumah. Selain itu secara otomatis pundi-pundi uangku bertambah. Keadaan itu masih membuatku tidak puas, aku masih belum merasa cocok dengan profesi itu, selain beberapa pertimbangan diatas aku juga merasa bahwa Guru bukan lahan pekerjaanku, terlebih aku tidak mempunyai akta IV yang menjadi legalisasi untuk menjadi guru. Walaupun legalisasi itu sebenarnya bisa di ikuti hanya dengan 6 bulan kuliah maka sertifikat akta itu sudah bisa didapatkan.
Dalam keadaan itu aku masih mengikuti beberapa tes kerja di luar kota, akupun masih mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan. Hingga akhirnya pada bulan November 2008 salah satu temanku semasa program di Denhaag menghubungiku dan menawari sebuah pekerjaan menjadi coordinator wilayah untuk salah satu LSMnya di Samarinda Kalimantan Timur. Namun tawaran tersebut tidak membuatku tertarik, walaupun gajinya sanagt besar untuk ukuranku namun aku masih mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya aku mulai merasa saying dengan murid-muridku, aku merasa belum waktunya aku meninggalkan mereka. Pertimbangan lainya adalah jarak yang sangat jauh dari keluargaku. Dengan pertimbangan yang cukup panjang akhirnya pada akhir desember aku memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Hal utama yang membuatku menerima tawaran tersebut adalah keadaan ekonomi keluragaku yang saat itu sangat berantakan. Adikku masuk kuliah, dan satu adeku akan masuk SMP. Di satu sisi bapakku sudah tidak mempunyai pendapatan yang bisa kami andalkan, usaha ibuku juga menuju kehancuran. Setelah mengurus semua tanggungjawabku di sekolah pada tanggal 27 Desember aku berangkat menuju Samarinda, kota yang samasekali tidak pernah aku bayangkan untuk aku kunjungi apalagi untuk menjadi temapt tinggal.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More